Tentang Bapak

Saat itu subuh, namun bukan kokok ayam yang membangunkanku, atau pun ulah jam biologisku. Itu Bapak. Beliau mengetuki pintu kamarku berulang kali, menyerukan segelintir hal tentang ajakan sholat shubuh dan kedisiplinan yang malah terdengar aneh keluar dari mulutnya. Aku menggeliat sebentar, menguap lebar beberapa kali, lalu menanggalkan sarung untuk mengambil air wudhu.

Saat itu subuh. Aku dan Bapak pergi ke masjid berdua.

***

Saat itu pagi. Sinar mentari menyirami pucuk sepatuku dan memanjangkan bayangan Bapak yang berdiri memunggungiku di teras. Beliau memandangi sekitar, menikmati cicit burung, menyapa beberapa tetangga dengan ramah (dan mereka sempat terheran). Selanjutnya, Bapak duduk di kursi. Meneguk teh yang disiapkan Ibu sebelum pergi ke pasar.

“Sudah dapat uang jajan dari ibu, Man?”

Aku mengangguk, lalu mengulurkan tangan untuk mencium tangannya. Beliau menyambut sambil turut menyerahkan selembar uang sepuluh ribu padaku.

Aku tergugu.

“Bapak udah mulai kerja di toko listrik Pak Salim. Udah lama lagian bapak nggak ngasih jajan kamu.”

Saat itu pagi. Langit begitu cerah, begitu pun dengan wajah Bapak.

***

Saat ini malam. Aku telentang di atas kasur reyot selagi mataku menatapi plafon yang dilembapi jamur. Barusan pekerjaan rumah selesai kubabat dan Bapak mengajakku berbincang di ruang tamu sebentar sambil makan kacang.

Sudah habis dua bulan. Tadi, bapak bercerita tentang pengalamannya dua bulan yang lalu. Ketika ia terjebak di antara gelap dan gelap yang mencekik. Penuh ketimpangan dan ombang-ambing, sampai akhirnya mendapat kesempatan lagi untuk keluar dan memulai kembali hidupnya.

Aku masih tak percaya kalau aku bersama Bapak

“Bapak sempat ketemu orang. Tinggi besar. Bilang kalau bapak bisa balik asal janji ngurus Saman dan Ibu dengan baik.”

Aku buka mulut, “Macam apa, pak, orangnya?”

“Seram,” bapak membalas. “Tinggi besar. Suaranya kayak orang ngedumel.

Dan benar saja. Bapak memenuhi janji itu. Beliau menjadi orang lain yang lebih baik. Aku masih ingat sekali ketika Bapak masih suka mabuk, berjudi, pulang malam, dan memukuli ibu. Bapak adalah mimpi burukku dulu.

Sampai suatu hari, kejadian itu datang. Bapak dibawa ambulans ke rumah. Ibu menangis menangis kencang. Katanya Bapak tewas karena berkelahi pasca kalah judi. Tapi, setelah dimandikan dan belum sempat selesai dibacakan yasin, Bapak terbangun. Kain penutupnya turun dan buntalan kapas meluncur dari hidungnya.

Aku kaget, ibu hampir pingsan waktu itu, tapi tak jadi sebelum akhirnya Bapak memeluk Ibu dan aku dengan tangannya yang masih dingin.

Tetangga yang hadir pada menjerit, sebagian kabur. Tapi Bapak malah menangis pada kami dan mau memulai semuanya dari awal.

Saat ini malam, dan aku heran kenapa aku mendadak bahagia.

Diterbitkan oleh

Tinggalkan komentar